LiNTAS (Lingkar Studi Tangerang Selatan)

MUKADIMAH
Sejarah nasional di masa awal pergerakan hingga tahun ‘60an telah memperlihatkan kepada kita betapa sengitnya pergulatan wacana yang terjadi. Seperti kita semua saksikan, pada saat itu tiada hal yang lahir sebagai diskursus selain tema-tema seputar bentuk kenegaraan, relasi negara dan agama, sistem politik maupun ekonomi, serta sekelumit polemik kebudayaan.

Di seantero negeri, baik di desa maupun kota, seperti tak ada lagi ruang kosong yang tersisa kecuali dipenuhi sesaknya pergumulan ide-ide. Semua unsur rakyat terlibat. Beragam weltanschauung dihadirkan. Segala rupa aliran, meminjam terminologi politik, dari yang kiri sampai yang kanan, duduk sama rendah beradu argumen, saling kritik satu sama lain. Pun semangat yang sama antara bentuk kelompok gerakan dan kelompok studi. Semua itu, dengan kerendahan hati dimaknai sebagai ikhtiar memikirkan nasib bangsa ke depan.

Hanya dalam porsi yang kecil konflik-konflik kekuasaan turut menyelimuti. Itupun terjadi di penghujung akhir Demokrasi Terpimpin. Sementara selebihnya, ruang-ruang perdebatan begitu hidup dan meresap langsung ke dalam nadi kehidupan rakyat. Pemilu 1955 menyuguhkan fakta begitu tingginya partisipasi politik rakyat. Sekitar 118 parpol ikut serta. Juga harus kita pahami, bahwa pada saat itu, kultur politik masih bernuansa ideologis. Tanpa tedeng aling-aling, hitam dan putih parpol semakin mempertegas identitasnya. Walaupun terjadi pengarusutamaan Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) secara politis pada kurun ‘60an, tapi tidak menutup silang gagasan yang terus berlangsung.

Akan tetapi, paska perisitwa G30S seolah-olah lembaran sejarah bangsa Indonesia berubah menjadi hitam selama-lamanya. Tak ada lagi pergulatan wacana. Tak ada lagi panorama ekspresi kebudayaan. Seturut itu pula terasa hampa dialektika. Karya-karya yang bersebrang-pandang dibumihanguskan. Para penciptanya dilempar jauh ke pengasingan. Kekuasaan rezim memainkan perannya secara over-dominant. Orde Baru (Orba) sebagai pemenang sah dari penggulingan Soekarno ibarat Leviathannya Hobbes yang senantiasa menakut-nakuti rakyat. Banyak kalangan menilai, saat itu terjadi depolitisasi. Triumvirat politik Orba pada waktu itu (ABRI, Birokrasi, Golkar) membabat habis kesadaran kritis rakyat. Juga terasa kental sekali dikotomi antara aparatur negara dan rakyat sipil. Hubungannya bersifat top-down dimana kekuasaan rezim memainkan suprastrukturnya dalam menanamkan kepatuhan publik. Semua rakyat dimobilisasi besar-besaran untuk mendukung program ‘Pembangunan Nasional’.

32 tahun rezim ini berkuasa. Tanpa segan, pergumulan gagasan yang sudah berlangsung lama ‘dimatikan’ begitu saja. Semua digantikan oleh doktrin rezim. Ya, hanya doktrin rezim yang benar dan tak boleh ada tafsiran lain selain GBHN. Seperti orang sakit, segala ‘resep’ pemahaman dicekok dan wajib diterima begitu saja. Kalau tidak, maka dianggap subversif, komunis, antek PKI dan sebagainya. Kesejahteraan rakyat digantungkan oleh seperangkat undang-undang modal asing. Aktivitas politik berjalan satu arah. Rakyat yang berpolitik, ibarat berenang di kolam buaya. Sungguh nekat kalau tidak mau dibilang bunuh diri.

Akhir 90an, seperti sudah diprediksi banyak orang, Orba tumbang disertai mundurnya Presiden Soeharto. Diawali krisis dunia yang ikut melindas Indonesia sebagai kreditor Bank Dunia dan IMF, berujung pada buasnya gelombang people power. Mahasiswa bersama buruh dan tani turun ke jalan tunjukkan moral force. Hampir semua kalangan merasa bertanggung jawab untuk menghentikan rezim represif Orba. Mereka menuntut reformasi. Ya, sebuah reformasi politik. Dengan begitu, paska Orba inipun mendapat istilah sebagai Era Reformasi. Undang-undang diamandemen, formasi lembaga politik disusun ulang, penegakan HAM menjadi isu yang cukup sentral.

Namun, setelah 15 tahun lebih Reformasi bergulir, tak nampak gejala-gejala kesejahteraan rakyat. Hampir segala segmen kehidupan hanya menampilkan sisi gelapnya. Praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) yang menjadi biang keladi kejahatan Orba, tak kunjung sirna. Malah semakin memperlihatkan bentuknya yang baru. Hak kebebasan yang tak tersedia pada masa Orba, keluar deras sampai-sampai rakyat kebingungan sendiri akan arti kebebasan itu. Banyaknya Ormas dan LSM, tetapi ruang publik masih juga minim. Standarisasi kuasa tetap ada. Oligark jaman Orba masih berkeliaran, mereka tidak hilang. Partai politik yang begitu banyak, kehilangan marwahnya sebagai media politik bagi rakyat. Yang ada hanyalah pembagian ‘kue kekuasaan’ semata. Sikap ini sudah tentu sangatlah jauh dari sikap ke-negarawan-an. Realitas ekonomi tak jauh berbeda. Sebagaimana negara yang habis ditimpa krisis, kondisi ekonomi bangsa semakin menjurus ke kubang lumpur. Negara yang diangankan menjadi penyalur distribusi kesejahteraan ekonomi, malah menajdi liang tempat komodifikasi berjalan. Di wilayah kebudayaan, memang muncul ekspresi-ekspresinya. Akan tetapi, yang dimunculkan dan menjadi esensi hanyalah pengubahan karya budaya menjadi komoditas. Mereka yang mengaku sebagai kelompok ‘budayawan’, seolah merasa terpisah dari kalangan rakyat umum dan memiliki hak untuk menafsirkan rakyat sebagai yang civilized dan uncivilized. Sebetulnya kalangan ini tak berbeda dari kelompok borjuis-eksploiter. Mahasiswa, buruh dan tani sebagai formasi penggerak sejarah, malah terjebak pada fragmen-fragmen yang menghancurkannya.

Itulah kegagalan Reformasi. Pada saat itu, diskursus yang ada adalah bagaimana menurunkan Soharto dan menyeret kroni-kroninya ke pengadilan. Tetapi, jarang sekali (kalau mau dikatakan tidak ada), forum-forum pada saat itu yang berbicara setelah Orba tumbang. Mau dibawa kemana nation ini? Hampir tak ada yang punya dan berbagi gagasan visioner pada saat itu.

Maka dari itu, sebelum semakin jauh bangsa ini ambruk, maka diperlukan sebuah rantai intelektual di kalangan pemuda untuk menciptakan persinggungan organik. Tugas daripada intelektual ini ialah memahami zamannya dan menjadi juru bicara bagi rakyat yang tertindas. Itulah sebuah tugas suci yang harus dipikul bersama oleh semua yang mengaku sebagai pemuda.

Lalu, merupakan langkah awal untuk memulai itu semua melalui penyelenggaraan proses studi. Studi yang dimaksud bukanlah seperti yang dipahami oleh umum, yaitu hanya sebagai kegiatan formil penurunan wawasan yang bersifat doktriner untuk dipersiapkan menjadi tenaga kerja. Kalau begitu, pendidikan hanyalah alat penindasan. Tak lebih. Yang dimaksud studi di sini yaitu untuk memperkuat rantai intelektual organik untuk sama-sama menyamakan persepsi. Kita tahu, selama ini pengetahuan sebagai salah satu bagian suprastruktur begitu kuat dipakai penguasa untuk membentuk ‘selera intelektual’, yang karenanya pendidikan disesuaikan oleh mekanisme pemodal sebatas untung-rugi produksi (kapitalisme). Untuk itu, maka kegiatan studi ini diarahkan untuk mengembalikan konsep sejati pendidikan sebagaimana sudah terlalu jauh dilanturkan oleh penguasa.

Tentang Nilai Dasar

Oleh sebab konjungtur kekuasaan yang melakukan penistaan terhadap kesadaran kritis publik, maka LINTAS (Lingkar Studi Tangerang Selatan) dengan sikap teguh menolak hal demikian. Penistaan semacam itu harus diluruskan. Oleh karena itu, maka kehadiran sebuah kelompok studi dalam rangka berjuang melakukan pembebasan sangatlah penting. Kelompok ini yang nantinya akan melakukan tugas utama yaitu membuka kembali kaidah berfikir kritis dan meruntuhkan hegemoni konsep pendidikan milik penguasa. Geliat pembebasan ini hanya bisa diraih dengan cara mendasarkan diri pada pentingnya merdeka berpikir. Ya, kemerdekaan adalah prasyarat seseorang memahami kehidupannya.

Adapun, mengapa dasar ini dipilih dan diyakini oleh LINTAS dibandingkan “kebebasan”? Karena mengacu kepada kata “merdeka” yang bermakna tidak dijajah dan menjajah oleh/kepada yang lain. Bagi kami, seseorang tidak patut melukai hak orang lain, begitupun sebaliknya. Dengan kata lain, tidak adanya suatu l’exploitation de l’homme par l’homme. Sedangkan kebebasan berangkat dari kata “bebas” yang bermakna tidak adanya suatu batasan. Maka, tiap-tiap orang dalam hal ini berpotensi untuk melanggar hak sesamanya. Kalau kita berani mempertanyakan apakah prakondisi seseorang untuk dapat bebas? Maka jawabannya ialah seseorang itu harus terlebih dahulu merdeka. Sedang prasyarat material dari kemerdekaan itu ialah terjaminnya hak-hak bersama. Apabila kebebasan ditempatkan pada suatu konteks sosial-politik yang tidak adil, maka kebebasan itu bisa jadi mengaburkan makna “bebas” dari prakondisinya. Maka dari itu, LINTAS memilih “merdeka” dibandingkan “bebas”.

Sedangkan “berfikir” memiliki makna kegiatan seseorang mengolah mental berdasarkan pada basis realitasnya. Artinya, seseorang berusaha memahami dan menghayati gejala-gejala yang nampak di sekitarnya, lalu membangun suatu kerangka paradigmatik. Dengan begitu, maka berfikir menjadi suatu keniscayaan bagi manusia. Karena tak ada manusia yang terlepas dari lingkungan materialnya, maka secara apriori manusia pasti mengobjektifikasi keadaan sekililingnya. Inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Apakah hewan berfikir? Ya, hewan dapat dikatakan berfikir secara mekanis dan hanya mempunyai memori secara episodik. Sementara manusia, dengan kelebihannya, memiliki sifat dinamis dalam berfikir sehingga bisa menciptakan sesuatu yang baru, semisal teknologi.

Jadi, merdeka dan berfikir merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan bagaikan dua sisi dalam satu koin. Yang satu (berfikir) tak akan berdiri tanpa yang satunya (merdeka). Tetapi, bukan berarti dua-duanya bersifat relatif terhadap yang lain. Kalau ya, maka niscaya kita terjebak pada idealisme-subjektif. Yaitu sikap dimana keberadaan sesuatu tergantung pada yang bukan sesuatu itu. Terdapat kekeliruan epistemologis dan ontologis. Sebagai satu kesatuan, yang dimaksud ialah kenyataan seseorang yang terkondisikan ketika dirinya berfikir. Artinya, dalam berfikir, seseorang harus senantiasa terkondisikan secara merdeka. Adapun, prasyarat merdeka seperti diungkapkan sebelumnya, yaitu terjaminnya hak-hak bersama.

Dengan begitu, kegiatan berfikir dapat berlangsung secara mandiri, tetapi sekaligus bersinggungan langsung terhadap realitasnya, yaitu rakyat. Penghayatan kepada rakyat inilah sebagai diktum akhir dari substansi berdirinya LINTAS. Sebuah fikiran, haruslah keluar dari raga yang merdeka. Kalau tidak, fikiran itu hanyalah sesuatu yang semu.